Rabu, 28 April 2010

Permasalahan seputar Santri Pesantren

A.    PENDAHULUAN
Penanaman materi agama mulai dini merupakan kewajiban kita sebagai umat beragama islam untuk melandasi keimanan dan ketaqwaan pada diri kita agar kita mengetahui kebenaran yang ada di muka bumi ini. Materi agama akan kita peroleh jika kita mau belajar sesuai dengan yang diajarkan oleh Allah SWT pada wahyu pertama yaitu “Iqro’ (bacalah). Ayat pertama ini turun dalam Surat al-Alaq secara signifikan menegaskan untuk membaca dan belajar bagi kaum muslim. Menjadi muslim berarti menjadi santri, menjadi santri berarti tidak boleh lepas dari kegiatan belajar selama 24 jam di lembaga pendidikan pesantren. Penanaman nilai-nilai agama yang memiliki kebenaran mutlak dan berorientasi pada kehidupan ukhrawi menyebabkan santri diharapkan benar-benar memiliki  aqidah yang kuat, syari'at yang matang dan ilmu pengatahuan yang mumpuni. Penanaman nilai moral juga mendapat tempat signifikan dalam setiap pesantren. Hal ini disebabkan para Kiai adalah pewaris para Nabi. Nabi tidak mewariskan apapun kecuali ilmu pengatahuan dan akhlaq yang mulya.
B.     PENGERTIAN SANTRI PESANTREN
Santri adalah sebutan bagi murid yang mengikuti pendidikan di pondok pesantren. Pondok Pesantren adalah sekolah pendidikan umum yang persentasi ajarannya lebih banyak ilmu-ilmu pendidikan agama Islam. Kebanyakan muridnya tinggal di asrama yang disediakan di sekolah itu. Pondok Pesantren banyak berkembang di pulau Jawa.
Panggilan Santri Pondok X artinya ia pernah/lulus dari Pondok Pesantren X. Panggilan Santri Kyai KH artinya ia pernah diajar oleh Kyai KH. Umumnya, sebutan santri Kyai juga berarti ia pernah menjadi anak asuh, anak didik, kadang-kadang mengabdi (biasanya di rumah kediaman) kyai yang bersangkutan (Wikipedia). Sedangkan Pesantren adalah sebagai lembaga pendidikan-agama dan pusat penyebaran Islam yang unik ke Indonesia telah menarik mintatnya para peneliti yang ingin mendalami kebudayaan dan agama di Indonesia serta para jurnalis internasional setelah pemboman Bali pada tahun 2002. Dewasa ini pesantren di Indonesia semakin berkembang serta beranekaragam hingga dapat dikatakan sulit tugasnya seorang peneliti yang berusaha untuk mengklasifikasi modelnya sebuah pondok pesantren sebagai yang modern atau yang tradisional.
C.     ALASAN-ALASAN MASUK PESANTREN
Dalam tausiahnya, Ustadz Gaban – sapaan akrab Ustadz Aang Abdurrahman – menyampaikan kandungan Kitab al-Ta’lim wa al-Muta’allim karya Syeikh al-Zarnuji. Menurut alumni Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur ini, kitab ini menjelaskan perihal akhlak, etika, atau norma seorang santri dalam proses menuntut ilmu. Misalnya, bagaimana cara menghargai guru, membaca kitab dan sebagainya. “Di pesantren, yang paling utama dilihat masyarakat adalah ahklaknya,” terangnya. Mengapa orang tua kita memasukkan atau menyekolahkan anaknya ke pesantren, bukannya ke sekolah non pesantren?” tanyanya pada para santri. Menurutnya, ini karena beberapa alasan mendasar.
1.      Orang tua ingin membina/memperbaiki akhlak anaknya.
2.      Agar anaknya bisa dan terlatih hidup mandiri.
3.      Agar anaknya mendapat ilmu yang berguna bagi dirinya baik di dunia maupun di akhairat.
Karena itu, orang yang dikatakan pintar sebenarnya adalah orang yang bisa menjaga hawa nafsunya, menjaga akhlaknya, dan juga mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian. Dan ini bisa dilakukan para santri. Misalnya juga, ketika menunaikan shalat, santri harus memakai tutup kepala atau peci dan berpakaian sopan. “Ini kan mau menghadap Pencipta. Dan ini cermin seorang santri. Begitu pula wanita harus memakai tutup kepala atau kerudung, karena wanita yang memakai kerudung kelihatannya lebih anggun.
Oleh karena itu, apa yang ditetapkan dan dipraktekkan oleh Kiai untuk kemudian diikuti oleh santri merupakan implementasi ajaran-ajaran salaf yang bersumber pada prilaku Nabi Muhammad yang tercover dalam hadits-haditsnya tentang; bagaimana etika santri dengan orang-orang sekitarnya dan bagaimana etika santri dengan rabbnya. Semua itu dilakukan secara disiplin dan istiqamah. Disiplin dalam bersikap, disiplin dalam ibadah dan disiplin dalam amaliyah sehari-hari, meskipun itu butuh proses panjang dan perjuangan yang gigih. Pendidikan  pesantren selama 24 jam menstimulasi santri membiasakan diri disiplin melakukan amaliyah-amaliyah wajib maupun sunnah, membaca wirid-wirid, membaca al qur’an dan prilaku-prilaku hasanah, sehingga terbentuklah santri yang taat guru, taat orang tua, taat agama, dan taat berbangsa
D.    PERMASALAHAN SEPUTAR SANTRI
Cita-cita pesantren adalah meneruskan estafet  perjuangan Nabi. Begitupun idealitas pesantren sebagai basic pertahanan ajaran-ajaran Islam. Namun realitanya justru berbalik. Ternyata prinsip-prinsip pesantren mulai bergeser dikalangan santri, khususnya para remaja. Pergeseran ini disebabkan kecenderungan mereka mengikuti budaya-budaya luar yang tak sejalan dengan prinsip pesantren. Pelanggaran-pelanggaran atau prilaku negatif santri kerap bermuara pada budaya tersebut, seperti melihat konser musik, kekerasan fisik, pencurian, pacaran, pesta miras atau sabu-sabu, dan lain-lain tetapi itupun juga tidak semua santri melakukan kenakalan-kenakalan semacam itu. Cara penampilan santri tidak sedikit yang mengikuti gaya yang sedang tren di kalangan selebritis, seperti; mode pakaian yang gaul, gaya rambut yang modis dan berwarna, gelang tangan dan memakai kalung. Belum lagi cara bergaul yang sok abis, seperti tidak lagi bersikap tawadlu pada guru dan orang-orang sekitarnya terutama orang tua, tutur kata yang kasar, suka urakan dan rendahnya sikap menghormati. Budaya dan etika non-religius seperti itu ditelan mentah-mentah tanpa disikapi secara kritis.
Kemerosotan moral santri ini  mengacu pada rendahnya pemahaman ajaran ulama-ulama yang tertuang dalam bentuk ahwal (prilaku), lisan (wejangan) atau tulisan (kitab/buku). Akibatnya,  identitas santri sedikit demi sedikit mulai terkikis seiring perkembangan usia, lebih-lebih pada remaja. Diperparah lagi karena pengaruh pesatnya laju budaya modern dan informasi tanpa ada filter ketat. Obyek perhatian santri dalam berpikir, bersikap dan bertindak juga mulai bergeser mengikuti aturan main remaja sebaya yang berkembang di lingkungan eksternal pesantren. Kontrol diri yang lemah akan menambah daftar "kenakalan" santri  yang tidak bisa mempelajari dan membedakan tingkah laku yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima. Begitupun bagi mereka yang telah mengetahui perbedaan dua tingkah laku tersebut, namun tidak bisa mengembangkan kontrol diri untuk bertingkah laku sesuai dengan ilmu pengetahuannya.
E.     WIN SOLUTIONS DI PESANTREN
Santri yang seharusnya menjadi penerus cita-cita agama dan negaranya seolah-seolah hanya fatamorgana setelah melihat fenomena diatas. Akan tetapi, sikap putus asa bukanlah jawaban, melainkan harus diupayakan solusinya. Kegagalan mencapai identitas peran dan lemahnya kontrol diri bisa dicegah atau diatasi dengan prinsip keteladanan. Santri harus bisa mendapatkan sebanyak mungkin figur tokoh-tokoh pesantren yang telah melampaui masa nyantrinya dengan baik. Usaha apa saja yang mereka lakukan hingga bisa mencapai taraf kesuksesan, baik dari segi intelektual maupun segi kepribadian untuk kemudian dipraktekkan itu. Diantara upaya yang bisa kita lakukan adalah meningkatkan pemahamannya tentang Islam dalam seluruh aspek kehidupannya, dengan kata lain membentuk pola pikir Islam dengan sering mengisi otak dengan informasi Islam, baik lewat membaca atau mengkajinya.
Sedangkan ukuran terbentuknya pola pikir Islam dalam diri santri adalah kemampuan santri untuk menilai setiap pemikiran, fakta dan realita serta kejadian berdasarkan standar Islam, kemudian menjadikan pemahamannya sebagai bentuk praktis dalam aktivitasnya, sampai tertanam dalam dirinya pola sikap Islam, yaitu kecenderungan untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu yang berdasarkan Islam. Sehingga santri akan memiliki kepribadian Islam yang kaffah yang mampu menilai dan menyikapi setiap pemikiran, fakta dan peristiwa atau kejadian yang berkembang di masyarakat (Qs. 2 : 208).
Upaya ini dapat dilakukan, baik oleh santri yang telah memiliki kesadaran Islam yang tinggi, keluarga dan masyarakat, serta negara secara serentak. Remaja mentranformasikan pemahaman keislaman yang kaffah kepada santri yang lain, pesantren memberikan perhatian dan suri tauladan kepada santri dari pelaksanaan nilai-nilai Islam, masyarakat mengambil peran control terhadap pola pola perilaku santri, dan negara beserta perangkatnya -melalui institusi atau undang-undang beserta sanksi-sanksinya- melaksanakannya dengan tegas dan memberikan sanksi/hukuman terhadap segala bentuk kemaksiatan (segala sesuatu yang bertentangan dengan Islam).
Makalah ini saya buat bagi kalian yang membutuhkan tentang fenomena pesantren dan santri. Literatur dari berbagai sumber termasuk pakde google is the best.

2 komentar:

  1. Salam dari Pesantren Ath-Thohiriyyah Purwokerto
    Kami mengundang anda untuk berpartispasi dalam menulis tentang pesantren.
    Silahkan kirimkan tulisan anda melalui email: pesantrenku@gmail.com

    Salam Admin Website Pesantren Ath-Thohiriyyah
    http://www.thohiriyyah.com

    11 September 2011 00:47

    BalasHapus
  2. mantap tulisan ini perlu menjadi perhatian para penggian pesantren.. syukron

    BalasHapus